BAB 11
NERACA PEMBAYARAN, ARUS MODAL ASING,
DAN UTANG LUAR NEGERI
1. Neraca
Pembayaran
Neraca pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang
meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan
penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial.
Umumnya neraca pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan dan neraca
lalu lintas modal dan finansial, dan item-item finansial.
Transaksi dalam
neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.
- Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus
uang (devisa) dari dalam
negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu
transaksi yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
- Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus
uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga
transaksi positif (+), yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya
posisi cadangan devisa negara.
Bentuk Umum Neraca Pembayaran
Pendapatan yang berkaitan dengan neraca pembayaran
·
PDB/GDP (Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Product)
Produk Domestik Bruto
adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit produksi
dalam batas wilayah suatu negara selama satu tahun. Dalam perhitungannya,
termasuk juga hasil produksi dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang
asing yang beroperasi di wilayah yang bersangkutan.
·
PNB/GNP (Produk Nasional Bruto/Gross Nasional Product)
PNB adalah seluruh
nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu negara dalam
periode tertentu, selama satu tahun, yang meliputi barang dan jasa yang
dihasilkan oleh masyarakat negara tersebut yang berada di luar negeri.
GNP = GDP – Produk netto terhadap
luar negeri
·
Pendapatan per Kapita
Pendapatan perkapita
adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan
perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan
nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut.
Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.
·
Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional
adalah merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat dalam
suatu negara selama satu tahun.
2. Arus
Modal Masuk
Jakarta - World Bank (Bank Dunia)
menilai perbaikan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik termasuk Indonesia
berlangsung sangat kuat. Hal ini menyebabkan adanya risiko yang bermunculan
seperti arus modal yang melonjak pesat.
Ekonom Kepala Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Vikram Nehru
mengatakan dengan didorong oleh likuiditas global yang melimpah untuk
mendapatkan hasil serta digabungkan dengan pengharapan akan pertumbuhan yang
lebih kuat dikawasan, menjadikan arus modal yang melonjak.
"Arus masuk yang lebih besar telah membantu apresiasi nilai tukar, diluar
adanya intervensi pasar oleh bank sentral. Arus masuk ini juga telah membantu
meningkatkan harga aset," jelas Vikram dalam Update Ekonomi Asia Timur dan
Pasifik Bank Dunia di Gedung BEI, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (19/10/2010).
Pemerintah menyatakan derasnya arus modal masuk (capital inflow) masih akan
berlangsung hingga pertengahan tahun 2011. Derasnya arus modal tersebut harus
tetap diwaspadai karena sewaktu-waktu bisa terjadi gelembung ekonomi alias
bubble.
"Keaadaan seperti ini, masih akan berlangsung sampai pertengahan tahun
2011 dimana dana yang likuid masih mengalir ke negara berkembang terutama
Indonesia," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo ketika menjadi
pembicara kunci seminar nasional Ikatan Bankir Indonesia (IBI) di Hotel Le
Meridien, Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (24/11/2010).
Agus mengungkapkan, adanya capital inflow menunjukkan tingginya kepercayaan
asing terhadap Indonesia. Tetapi, Agus mengkhawatirkan jika tidak direspon
dengan berbagai kebijakan maka akan terjadi bubble.
"Inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing namun juga harus
diwaspadai potensi bubble. Perlu diperhatikan pengendalian capital inflow di
sisi yang tepat," tuturnya.
Ia menyatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk
menjaga arus modal masuk tersebut serta mengelolanya dengan berbagai kebijakan.
"Crisis Management Protocol selalu dilakukan oleh pemerintah dan BI untuk
mencegah bubble tersebut," jelasnya.
Didepan para bankir, Agus meminta seluruh industri perbankan untuk ikut
memanfaatkan inflow yang masih akan deras mengalir. Antara lain, Agus
mengatakan perbankan harus bisa mendorong nasabahnya untuk aktif menempatkan
dananya untuk investasi.
"Selain itu memanfaatkan inflow dengan melakukan right issue dan
penerbitan subdebt serta obligasi," ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah juga akan mendorong pergerakan modal masuk ke sektor
properti. Hal ini, lanjut Agus dikarenakan sektor properti merupakan investasi
jangka panjang.
"Kami juga arahkan untuk BUMN melakukan IPO serta melakukan penerbitan
surat berharga," katanya.
Lebih jauh Agus juga
meminta kepada seluruh pihak agar menjaga iklim investasi dan sistem keuangan
dijauhkan dari moral hazard. "Jangan sampai ada moral hazard dan adanya
missmacht penempatan di instrumen invstasi. Jangan sampai investasi yang jangka
pendek di tempatkan di underlying yang jangka panjang," kata Agus.
3. Utang Luar Negeri
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri,
adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor
di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah,
perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari
bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional
seperti IMF dan Bank Dunia.
Modal asing
diperlukan selain untuk meningkatkan investasi (capital formation) di
dalam negeri, selama tidak memberi suatu dampak negatif terhadap pembentukan /
pertumbuhan tabungan domestik, juga untuk membiayai defisit transaksi berjalan
(impor) atau menutupi kekurangan cadangan devisa.
1. Faktor
Penyebab
Salah satu komponen
penting dari arus modal masuk yang banyak mendapat perhatian di dalam literatur
mengenai pembangunan ekonomi di LCDs adalah hutang luar negeri (ULN). Bagi
Indonesia, sejak krisis ekonomi yang diawali dengan depresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997 lalu yang nyaris membuat
financial Indonesia bangkrut karena jumlah ULN-nya (terutama dari sektor
swasta) yang sangat besar. Apalagi sebagian besar dari perusahaan-perusahaan
dalam negeri Indonesia tidak mampu untuk membayar kembali ULN mereka.
Sejak krisis ULN
dunia yang terjadi pada awal dekade 1980-an, masalah ULN yang dialami oleh
banyak LDCs tidak kian membaik. Krisis ULN terjadi sampai menyebabkan
negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian
struktural (structural adjustment) terhadap ekonomi dalam negeri mereka
atas desakan dari bank dunia dan IMF, sebagai syarat utama guna memperoleh dana
pinjaman baru dan/ atau pengurangan terhadap pinjaman lama.
Tingginya ULN dari
banyak LDCs disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor, yaitu defisit
transaksi berjalan, kebutuhan dana untuk investasi melebihi jumlah dana yang
tersedia di dalam negeri karena tabungan domestik rendah (investment-saving
gap), tingkat inflasi yang tinggi, dan structural inefficiencies di
dalam perekonomian mereka.
Dari faktor-faktor
tersebut, defisit transaksi berjalan sering disebut di dalam literatur sebagai
penyebab utama membengkaknya ULN LDCs. Besarnya defisit transaksi yang melebihi
surplus saldo neraca modal membuat BOP defisit dan berarti juga cadangan devisa
berkurang. Apabila saldo transaksi berjalan setiap tahun negatif, maka cadangan
devisa dengan sendirinya dapat habis jika tan pa ada sumber-sumber lain.
Utang luar negeri
suatu negara ditentukan oleh tingkat optimalisasi penggunaan dana yang ada oleh
masyarakat di negara tersebut dengan kesempatan yang ada untuk meminjam dari
pasar internasional dan pilihan yang ada antara mengkonsumsi dan menanam K
(alun, 1992).
Menurut Sachs (1981,
1982) negara yang memiliki masalh dalm pelunasan ULN akan cenderung untuk tidak
menunda pembayaran utangnya karena jika pelunasannya ditunda hal tersebut akan
semakin berimbas pada perdagangan internasional dan arus K masuk. Jadi,
kenaikan dalam pelunasan utang (LS) cenderung menaikan ULN.
Utang Era Soekarno
(1945–1966)
Presiden Soekarno
adalah sosok pemimpin yang sebenarnya anti utang. Salah satu bapak pendiri
bangsa ini pernah memberikan satu pernyataan terkenal yaitu “Go To Hell with
Your Aid” yang menyikapi campur tangan IMF pada peristiwa konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia pada 1956. Dari pernyataan tersebut, Soekarno dapat
dikategorikan sebagai pemimpin yang tegas dan berani mengambil sikap untuk
menolak intervensi asing.
Namun, pada akhir pemerintahan Soekarno, negara ini ternyata dibebani oleh
utang. Seperti dikutip dari harian Republika (17/4/2006), jumlah utang
Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno sebesar US$6,3 miliar, terdiri dari
US$4 miliar adalah warisan utang Hindia Belanda dan US$2,3 miliar adalah utang
baru. Utang warisan Hindia Belanda disepakati dibayar dengan tenor 35 tahun
sejak 1968 yang jatuh tempo pada 2003 lalu, sementara utang baru pemerintahan
Soekarno memiliki tenor 30 tahun sejak 1970 yang jatuh tempo pada 1999.
Utang Era Soeharto (1966–1998)
Pada masa Orde Baru,
utang didefinisikan menjadi penerimaan negara. Berarti pemerintah saat itu
membiayai program-program pemerintah melalui instrumen pendapatan yang salah
satunya adalah utang. Jika dilihat dari struktur anggaran pemerintah, maka
utang dimasukkan ke dalam porsi penerimaan selain pajak.
Selama 32 tahun berkuasa, ciri kuat pemerintahan Orde Baru adalah sangat
sentralistik dan sering disindir berasaskan “Asal Bapak Senang” (ABS) sehingga
kerap membuat masalah utang negara menjadi hal yang “tabu” untuk dibicarakan.
Akibatnya, pengelolaan utang negara pun menjadi sangat tidak transparan. Orde
Baru “diklaim” berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama
32 tahun pemerintahannya maka utang negara bertambah sekitar Rp46,88 triliun
tiap tahun.
Sampai 1998, dari total utang luar negeri sebesar US$171,8 miliar, hanya
sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam bentuk proyek dan program, sedangkan
sisanya (27%) menjadi pinjaman yang idle dan tidak efektif. Alhasil, di masa
Orde Baru, utang negara tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini
disebabkan sistem pemerintahan yang sentralistik yang mengakibatkan pemerintah
sulit untuk melakukan pemerataan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah,
bukan berdasarkan keinginan pusat.
Pada masa Orde Baru, kredit Indonesia mendapat rating BBB dari Standard &
Poor’s (S&P), lembaga penilai keuangan internasional. Rating BBB, yang
hanya satu tingkat di bawah BBB+, membuat iklim investasi dan utang Indonesia
pada masa Orde Baru dinilai favorable bagi para investor, baik domestik maupun
asing. Komposisi utang Orde Baru terdiri atas utang jangka panjang dengan tenor
10–30 tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan
bahwa utang Orde Baru jatuh tempo pada 2009 dengan struktur utang yang jatuh
tempo sepanjang tahun 2009 adalah sebesar Rp94 triliun, terdiri dari Rp30
triliun berupa utang domestik dan Rp64 triliun berupa utang luar negeri.
Utang Era Habibie (1998–1999)
Masa pemerintahan B.
J. Habibie merupakan pemerintahan transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi.
Habibie hanya memerintah kurang lebih setahun, 1998–1999. Pada 1998 terjadi
krisis moneter yang menghempaskan perekonomian Indonesia dan pada saat yang
bersamaan juga terjadi reformasi politik. Kedua hal ini mengakibatkan rating
kredit Indonesia oleh S&P terjun bebas dari BBB hingga terpuruk ke tingkat
CCC. Artinya, iklim bisnis yang ada tidak kondusif dan cenderung berbahaya bagi
investasi.
Pada masa pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar US$178,4
miliar dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan sisanya idle.
Terjadinya penurunan penyerapan utang, yaitu dari 73% pada 1998 menjadi 70%
pada 1999, disebabkan pada 1999 berlangsung pemilihan umum yang menjadi tonggak
peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak keraguan baik di kalangan
investor domestik maupun investor asing terhadap kestabilan perekonomian,
sementara pemerintah sendiri saat itu tampak lebih “disibukkan” dengan pesta
demokrasi lima tahunan tersebut.
Utang Era Gus Dur (1999–2001)
Abdurrahman Wahid,
atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, naik sebagai Presiden RI ke-4
setelah menang dalam Pemilu 1999. Namun, pada masa pemerintahan Gus Dur kerap
terjadi ketegangan politik yang kemudian membuat Gus Dur terpaksa lengser
setelah berkuasa selama kurang lebih dua tahun 1999–2001. Pada masa Gus Dur,
rating kredit Indonesia mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC turun menjadi
DDD lalu naik kembali ke CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah imbas dari
krisis moneter pada 1998 yang masih terbawa hingga pemerintahannya.
Saat itu utang pemerintah mencapai Rp1.234,28 triliun yang menggerogoti 89% PDB
Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan bagi negara berkembang seperti
Indonesia. Selain porsi utang yang besar pada PDB, terjadi pula peningkatan
porsi bunga utang terhadap pendapatan dan belanja negara. Rasio bunga utang
terhadap pendapatan pada 2001 meningkat sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%,
sedangkan terhadap belanja meningkat sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun
yang sama. Saat itu Indonesia dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perangkap utang
(debt trap). Pemerintahan Gus Dur mencatatkan hal yang positif dalam hal utang,
yaitu terjadi penurunan jumlah utang luar negeri sebesar US$21,1 miliar, dari
US$178 miliar pada 1999 menjadi US$157,3 miliar pada 2001. Namun, utang
nasional secara keseluruhan tetap meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari
Rp1.234,28 triliun pada 2000 menjadi Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara
itu, porsi utang terhadap PDB juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000
menjadi 77% pada 2001.
Utang Era Megawati (2001–2004)
Masa pemerintahan
Megawati Soekarnoputri hanya berlangsung selama tiga tahun (2001–2004). Namun,
pada masa pemerintahan presiden wanita Indonesia pertama ini banyak terjadi
kasus-kasus yang kontroversial mengenai penjualan aset negara dan BUMN. Pada
masanya, Megawati melakukan privatisasi dengan alasan untuk menutupi utang
negara yang makin membengkak dan imbas dari krisis moneter pada 1998/1999 yang
terbawa sampai saat pemerintahannya. Maka, menurut pemerintah saat itu,
satu-satunya cara untuk menutup APBN adalah melego aset negara.
Privatisasi pun dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih
pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan
hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat,
PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun
pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001),
Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun
masuk ke kantong negara.
Alhasil, selama masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah utang
negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah melalui
penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp1.273,18
triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun sekitar Rp48,3
triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat
sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5 triliun. Rata-rata
peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati adalah sekitar Rp25
triliun tiap tahunnya.
Namun, terdapat hal positif lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati,
yaitu naiknya tingkat penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia. Sejak 2002
hingga 2004, penyerapan utang mencapai 88% dari total utang luar negeri yang
ada. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah makin serius menggunakan fasilitas
utang yang ada untuk kegiatan pembangunan. Keseriusan pemerintah dapat dilihat
dari porsi utang terhadap PDB yang makin turun, yakni dari 77% pada 2001
menjadi 47% pada 2004. Menurunnya rasio utang terhadap PDB turut menyumbang
meningkatnya rating kredit yang dilakukan oleh S&P dari CCC+ pada 2002
menjadi B pada 2004.
Utang Era SBY (2004–2009)
Pemerintahan SBY-JK
dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-nya menjadi pemerintahan pertama yang
dipilih melalui sistem pemilihan umum langsung di Indonesia. Sistem politik
yang makin solid membawa ekspektasi dan respons positif pada kondisi
perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari nilai PDB Indonesia yang terus
meningkat hingga mendekati angka Rp1.000 triliun pada 2009. Tingkat kemiskinan
pun diklaim “turun” oleh pemerintah (meskipun sampai saat ini definisi mengenai
kemiskinan masih menjadi perdebatan).
Namun, bagaimana dengan masalah pengelolaan utang negara pada pemerintahan ini?
“Diwarisi” utang oleh pemerintahan sebelumnya sebesar Rp1.299,5 triliun, jumlah
utang pada masa pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga menjadi Rp1.700
triliun per Maret 2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi peningkatan utang
sebesar Rp80 triliun setiap tahunnya atau hampir setara dengan 8% PDB tahun
2009. Utang pemerintah sebesar Rp1.700 triliun itu terdiri dari Rp968 triliun
utang dalam negeri (57%) dan Rp732 triliun utang luar negeri (43%). Pinjaman
luar negeri digunakan untuk membiayai program-program dan proyek-proyek
pemerintah yang berkaitan dengan kemanusiaan, kemiskinan, lingkungan, dan
infrastruktur.
Meski jumlah utang bertambah besar, dalam lima tahun pemerintahan SBY,
penyerapan utang terhitung maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat
penyerapan yang rata-rata mencapai 95% dari total utang. Lalu, apa implikasi
dari penyerapan ini? Nilai PDB Indonesia pun makin tinggi. Apabila ditelusuri
lebih jauh, selama lima tahun terakhir, rasio utang negara terhadap PDB
terlihat makin kecil, hingga menyentuh 32% pada 2009.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan fakta-fakta bahwa utang makin besar,
tetapi tingkat penyerapan tinggi, PDB makin tinggi, dan rasio utang terhadap
PDB makin rendah? Dengan jumlah utang meningkat rata-rata Rp80 triliun per
tahun selama lima tahun terakhir, sementara nilai PDB rata-rata meningkat 6,35%
tiap tahun pada 2005–2008 (dengan memakai tahun dasar 2000 sesuai data Bank
Indonesia) dengan target PDB 2009 mendekati angka Rp1.000 triliun, dan rasio
utang terhadap PDB makin kecil, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor
kunci pembangunan negara ini adalah utang. Rasio utang yang makin mengecil
terhadap PDB bukanlah karena utangnya yang mengecil, melainkan karena PDB-nya
yang makin membesar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI,
dapat dilihat bahwa pada APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan
pembiayaan anggaran sebesar Rp204,837 miliar, yang terdiri dari Rp116,996
miliar untuk kebutuhan pembayaran utang (57%) dan Rp139,515 miliar untuk
menutupi defisit (68%). Lalu, dari manakah sumber pembiayaan untuk menutupi
kekurangan pembiayaan anggaran ini? Lagi-lagi berasal dari utang, sebesar 99%
atau Rp201,772 miliar, baik berupa utang dalam negeri maupun utang luar negeri.
Jadi, boleh dibilang, Indonesia membayar utang dengan berutang alias gali
lubang tutup lubang.
Masih menurut sumber
data yang sama, pada 2033, atau 24 tahun dari sekarang, 98% utang dalam negeri
pemerintah senilai Rp129 triliun akan jatuh tempo. Menurut data The Indonesia
Economic Intelligence (IEI), dana sebesar Rp129 triliun itu merupakan dana eks
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang memang sudah harus dibayarkan
kepada Bank Indonesia. BLBI sendiri hingga kini masih menjadi isu yang
kontroversial dan belum tuntas penyelesaiannya.
Saat membuka Sidang
Pleno I Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memberikan pernyataan bahwa pemerintah sekarang boleh dibilang sedang
bangkrut atau tidak punya cukup uang untuk membangun dan membiayai perekonomian
negara ini. “Government is broke. Penerimaan pemerintah berkurang karena pajak
yang masuk berkurang,” kata Presiden ketika menyikapi kondisi perekonomian
Indonesia saat krisis global terjadi. Pernyataan tersebut merefleksikan kondisi
ekonomi nasional yang sangat rapuh saat menghadapi krisis. Maka, jalan untuk
keluar dari masalah ini adalah lagi-lagi dengan berutang.
Sumber
:
http://id.wikipedia.org/wiki/Neraca_pembayaran
http://ahmadfuadsobirin.blogspot.com/2011/03/neraca-pembayaranarus-modal-asingdan.html
http://candygloria.wordpress.com/2011/03/11/neraca-pembayaran-perekonomian-indonesia/
http://eandhrezpector.blogspot.com/2011_03_01_archive.html
nama
: eko dwi kartiko
npm
: 22210309
kelas
: 1eb17