BAB 4
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
1.
Konsep dan definisi
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskian relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingakt pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relative, kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di suatu Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.
2.
Pertumbuhan,
kesenjangan dan kemiskinan
a. Hubungan antara
Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data decade 1970an dan 1980an mengenai pertumbuhan
ekonomi dan distribusi di banyak Negara berkembang, terutama Negara-negara
dengan proses pembangunan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan
seakan-akan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat
kesenjangan ekonomi: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar
pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum
kaya. Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) memperlihatkan perkembangan
ketimpangan pendapatan antara kaum miskin dan kaum kaya di Swedia, Inggris dan
AS, serta beberapa Negara di Eropa Barat menunjukkan kecenderungan yang
meningkat selama decade 1970an dan 1980an. Jantti membuat kesimpulan
semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran
demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan
public. Dalam perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan
pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya pendapatan dari istri
dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua factor penyebab penting.
Literature mengenai perubahan kesenjangan dalam
dsitribusi pendapatan awalnya didominasi oleh apa yang disebuthipotesis
Kuznets. Dengan memakai data antar Negara (cross section) dan
data dari sejumlah survey/observasi di tiap Negara (time series), Simon
Kuznets menemukan relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat perdapatan
per kapita berbentuk U terbalik. Hasil ini diinterpretasikan sebagai
evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan
(rural) ke ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industry.
b. Hubungan antara
Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan dan
kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan dengan ketimpangan, seperti
yang telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap
awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan saat
mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur
berkurang. Namun banyak factor lain selain pertumbuhan yang juga
mempunyai pengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/Negara
seperti struktur pendidikan tenaga kerja dan struktur
ekonomi
3.
Beberapa indicator
kesenjangan dan kemiskinan
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan
dalam distribusi pendapatan. Yang sering digunakan yaitu:
a. Kurva Lorenz
Menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional
di kalangan-kalangan lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini
terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan
persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili
persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri “ditempatkan” pada diagonal
utama bujur sangkar tersebut.Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal
(semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata.
Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal, maka ia mencerminkan
keadaan yang semakin buruk
b. Koefisien Gini
Adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Begitu pula untuk sebaliknya, semakin besar koefisiennya,
4.
Temuan Empiris
a. Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik
menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS): data pengeluaran
konsumsi sebagai proxy distribusi pendapatan.
· Pertengahan 1997
pendapatan per kapita lebih dari 1000 dollar AS.
· Tahun 1965-1970:
pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7% dan koefisien Gini sebesar
0,35.
· Tahun 1971-1980:
pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 5,4% dan koefisien Gini sebesar 0,3
ketidak merataan menurun.
· Tahun 1998″ koefisien
Gini sebesar 0,32.
· Tahun 1999: koefisien
Gini sebesar 0,33.
Bedasarkan kondisi geografis, terdapat perbaikan
distribusi pendapatan pedesaan (0,26-0,31) dibandingkan di perkotaan (0,33).
Perubahan pola distribusi pendapatan di pedesaan Indonesia disebabkan oleh:
· Arus tenaga kerja
dari pedesaan ke perkotaan
· Struktur pasar di pedesaan
lebih sederhana dibandingkan di perkotaan, distorsii pasar di pedesaan lebih
kecil dibanding di perkotaan.
Dampak positif proses pembangunan nasional
· Semakin banyak
kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian di pedesaan
· Prokdutivitas dan
pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian meningkat
· Potensi sumber daya
alam di pedesaan semakin baik di manfaatkan penduduk desa
b. Kemiskinan
Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah
besar. Terutama meliahat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin
di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita I
hingga 1997 (sebelum krisis eknomi). Berdasarkan fakta ini selalu muncul
pertanyaan, apakah memang laju pertymbuhan yang tingii dapat mengurangi tingkat
kemiskinan atau apakahmemang terdapat suatu korelasi negatif yang signifikan
antara tingkat pertumbuhan dan presentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan?.
Kalau dilihat data dari Asia dalam sstudinya
Dealolikar dkk. (2002), kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase
perubahan kemiskinan antara kelompok negara dengan leju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan kelompoknegara dengan pertumbuhan yang rendah. Seperti China
selama tahun 1994-1996 pertumbuhan PDB riil rata-rata per tahun 10,5%, tingkat
penurunan kemiskinan per kapita selama periode tersebut sekitar 15,5%, yakni
dari 8,4% ke 6,0% dari jumlah populasinya. Sedangkan, misalnya Bangladesh dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun hanya 3,1% selama 1992-1996, tingkat
penurunan kemiskinannya per kapita hanya 2,5%. Ada sejumlah negara, termasuk
Indonesia, yang jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah
walaupun ekonominya tumbuh positif
5.
Faktor-faktor
penyebab kemiskinan
a. Dilihat dari Faktor Individu
Penyebab individual yakni kemiskinan sebagai akibat
dari perilaku atau kemampuan dari
orang tersebut. Misalnya, malas atau malah menunggu sesuatu yang sifatnya
spekulasi.
b. Dilihat dari Faktor Keluarga
Penyebab keluarga bukan lagi faktor
individu yang sering dilontarkan oleh kelompok yang mengatakan kemiskinan tidak
akan timbul jika adanya kemauan kuat dari dirinya. Faktor ini menghubungkan
kemiskinan karena keadaan dan pendidikan keluarga.
c. Dilihat dari Faktor Subkultural
Penyebab sub-budaya atau kebiasaan yang menghubungkan
faktor kemiskinan disebabkan oleh kehidupan sehari-hari yang dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungannya. Karena lingkungannya sudah seperti itu, orang
pun secara tidak sengaja akan menjalani pola hidup yang sama. Misalnya,
penduduk suatu daerah bekerja sebagai tukang bangunan. Maka, secara tidak
disadari, hal ini menular kepada penduduk yang lain. Selain itu, kita sering
menjumpai orang yang berjualan berasal dari suatu daerah yang sama.
d. Dilihat dari Faktor Agensi
Penyebab agensi sosial melihat kemiskinan
sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
Misalnya, keputusan pemerintahan Amerika Serikat untuk berperang bisa
menyebabkan turunnya kesejahteraan rakyat. Bukan hanya terjadi pada negara yang
diserangnya, melainkan berdampak besar pula terhadap negaranya sendiri.
Perekonomian dan kas negara yang seharusnya dianggarkan untuk perekonomian,
pendidikan, dan kesehatan, akan terserap untuk kebijakan perang tersebut.
e. Dilihat dari Faktor Struktur
Penyebab struktural sering menimbulkan pertanyaan,
kenapa ada yang di sebut struktur? Ini lebih erat kaitannya dengan struktur sosial, baik dalam
masyarakat maupun dalam pekerjaan. Misalnya, seorang pejabat yang sudah
memiliki tingkatan lebih tinggi bisa diartikan lebih kaya daripada rakyat yang ada di
bawahnya.
6.
Kebijakan anti
kemiskinan
Ada 3 (tiga) pilar utama strategi pengurangan
kemiskinan, yakni:
·
Pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan dan pro kemiskinan
·
Pemerintahan yang
baik (good governance)
·
Pembangunan social
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan
intervensi pemerintah sesuai sasaran atau tujuannya. Sasaran atau
tujuan tersebut dibagi menurut waktu, yakni jangka pendek, menengah dan
panjang.
Intervensi lainnya adalah manajemen lingkungan dan
SDA. Hancurnya lingkungan dan “habisnya” SDA dengan sendirinya
menjadi factor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang
berarti juga sumber peningkatan kemiskinan.
Intervensi jangka pendek terutama pembangunan sector
pertanian dan ekonomi pedesaan, pembangunan transportasi, komunikasi, energy
dan keuangan, peningkatan peran serta masyarakat sepenuhnya (stakeholder
participation) dalam proses pembangunan dan proteksi social (termasuk
pembangunan system jaminan social).
Intervensi jangka menengah dan panjang adalah sbb:
§ Pembangunan sector
swasta
§ Kerjasama regional
§ Manajemen pengeluaran
pemerintah (APBN) dan administrasi
§ Desentralisasi
§ Pendidikan dan
kesehatan
§ Penyediaan air bersih
dan pembangunan perkotaan
Sumber :
http://syirinalmadani-syirin.blogspot.com/2011/03/kemiskinan-dan-kesenjangan-pendapatan.html
http://rismaeka.wordpress.com/2011/03/13/kemiskinan-dan-kesenjangan-pendapatan-2/
http://cintacinta-zellta.blogspot.com/2011/03/perekonomian-indonesia-bab-iv.html
No comments:
Post a Comment